resensi buku Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi
RESENSI BUKU DJOKO SOEKIMAN
“KEBUDAYAAN INDIS” Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi
SINOPSIS
Buku Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi karya Djoko Soekiman membahas perkembangan budaya Indis yang berkembang pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Istilah “Indis” merujuk pada akulturasi budaya antara pribumi Indonesia dan orang Belanda, menciptakan gaya hidup dan nilai-nilai yang khas di kalangan masyarakat kolonial.
Djoko Soekiman mengeksplorasi aspek-aspek seperti gaya berpakaian, seni, arsitektur, bahasa, dan tata kehidupan sosial yang dipengaruhi oleh perpaduan dua budaya ini. Buku ini juga membahas bagaimana kebudayaan Indis berubah selama periode kolonial, mulai dari zaman VOC, pemerintahan Hindia Belanda, hingga masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Buku ini memberikan perspektif yang mendalam tentang bagaimana interaksi budaya terjadi dalam konteks kolonial dan dampaknya terhadap identitas budaya Indonesia, serta bagaimana warisan budaya Indis masih terasa di Indonesia modern.
BAB I : AWAL KEHADIRAN ORANG BELANDA
Pada bab pertama buku Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, Djoko Soekiman memaparkan tentang kedatangan orang-orang Belanda ke Nusantara. Bab ini menyajikan latar belakang sejarah bagaimana bangsa Belanda mulai hadir di Indonesia, pada mulanya dengan tujuan berdagang yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan politik dan militer.
Djoko Soekiman menjelaskan bahwa awalnya kedatangan Belanda difokuskan pada upaya untuk mencari rempah-rempah yang sangat berharga di pasar dunia. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) didirikan untuk menguasai perdagangan ini, dan pada akhirnya VOC memonopoli perdagangan dan membangun kekuatan politik di Nusantara. Perlahan, kehadiran VOC membuka jalan bagi Belanda untuk menjadikan wilayah Nusantara sebagai koloni mereka.
Di bab ini, Djoko Soekiman juga mulai menyoroti munculnya budaya Indis, yang merupakan hasil akulturasi budaya Eropa (khususnya Belanda) dengan budaya lokal. Awal mula budaya ini bisa dilihat dalam interaksi sosial antara para pejabat VOC dengan penduduk pribumi serta terbentuknya komunitas Indo—keturunan campuran Eropa dan Indonesia. Bab ini membangun dasar pemahaman mengenai bagaimana budaya Indis terbentuk, berkembang, dan pada akhirnya menjadi identitas tersendiri dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda.
Secara keseluruhan, Bab I memperkenalkan pembaca pada dinamika awal yang memicu terjadinya perubahan besar dalam struktur sosial dan budaya di Indonesia pada masa kolonial. Bab ini juga memberikan konteks yang penting untuk memahami bagaimana budaya Indis berkembang seiring dengan berjalannya waktu hingga masa revolusi.
BAB II : MASYARAKAT PENDUKUNG KEBUDAYAAN INDIS
Bab II dalam buku ini mengulas tentang masyarakat yang menjadi pendukung dari kebudayaan Indis di Indonesia. Pada bab ini, Djoko Soekiman mengeksplorasi bagaimana budaya Indis, sebuah gabungan antara budaya Eropa (khususnya Belanda) dengan budaya lokal Indonesia, lahir dan berkembang. Masyarakat pendukung budaya Indis ini terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki interaksi erat dengan bangsa kolonial, seperti pegawai pemerintahan kolonial, pejabat lokal, priyayi, hingga pedagang yang terbiasa berinteraksi dengan orang Eropa.
Bab ini menjelaskan bahwa kebudayaan Indis tidak terbatas pada gaya hidup, tetapi juga mencakup cara berpakaian, arsitektur, kuliner, dan etika sosial yang diadopsi atau dipadukan dari budaya Belanda ke dalam budaya lokal. Ada pergeseran gaya hidup pada masyarakat Jawa dan kelompok elit lainnya, yang mulai mengenal dan mengadopsi nilai-nilai dan kebiasaan ala Barat. Di sisi lain, kebudayaan Indis juga menunjukkan resistensi terhadap dominasi budaya kolonial, di mana elemen-elemen lokal tetap bertahan dan beradaptasi dalam konteks baru yang campur-baur.
Soekiman dalam bab ini menggambarkan bahwa masyarakat pendukung kebudayaan Indis memiliki pengaruh besar dalam membentuk identitas kebudayaan baru yang mencerminkan pertemuan antara Barat dan Timur. Hal ini juga berperan dalam menciptakan kelas sosial baru yang berbeda dari masyarakat pribumi tradisional. Bab ini menyoroti kompleksitas hubungan sosial dan budaya yang tercipta akibat kolonialisme, serta dampaknya yang bertahan bahkan hingga periode revolusi dan sesudahnya.
BAB III : GAYA HIDUP MASYARAKAT INDIS
Bab III buku ini membahas tentang “Gaya Hidup Masyarakat Indis.” Dalam bab ini, Djoko Soekiman mengupas gaya hidup unik yang berkembang di kalangan masyarakat Indis, yakni kelompok yang lahir dari percampuran budaya antara bangsa Eropa, khususnya Belanda, dengan pribumi di Hindia Belanda.
Gaya hidup masyarakat Indis mencerminkan pengaruh kuat budaya Eropa yang berpadu dengan unsur-unsur lokal. Djoko Soekiman membahas berbagai aspek gaya hidup ini, seperti pakaian, makanan, arsitektur, dan hiburan. Pakaian masyarakat Indis, misalnya, adalah hasil adaptasi gaya Barat dengan iklim tropis, di mana mereka menciptakan pakaian yang tetap elegan namun nyaman di iklim yang lebih panas.
Selain itu, makanan dan minuman Indis juga menjadi ciri khas tersendiri, dengan perpaduan bahan dan cita rasa lokal dengan metode memasak Eropa. Masakan ini mencerminkan asimilasi budaya, seperti nasi goreng yang terinspirasi dari hidangan Barat namun dengan cita rasa lokal.
Dalam hal hiburan dan tata krama, masyarakat Indis menikmati musik, dansa, serta tradisi perjamuan yang terpengaruh dari budaya Belanda. Rumah-rumah mereka pun menunjukkan gaya arsitektur Indis, yakni perpaduan gaya kolonial dengan penyesuaian lokal, seperti bangunan rumah besar dengan teras luas yang sesuai dengan iklim dan gaya hidup di Hindia.
Melalui bab ini, Djoko Soekiman memperlihatkan bahwa masyarakat Indis bukan sekadar hasil percampuran etnis, tetapi juga penciptaan budaya baru yang memiliki gaya hidup tersendiri di Hindia Belanda. Bab ini memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana budaya Indis berkembang dan beradaptasi di tengah perbedaan budaya Eropa dan lokal, dan bagaimana gaya hidup tersebut menjadi identitas unik yang bertahan di masyarakat kolonial.
BAB IV : LINGKUNGAN PEMUKIMAN MASYARAKAT EROPA, INDIS, DAN PRIBUMI
Bab IV dari buku ini membahas “Lingkungan Pemukiman Masyarakat Eropa, Indis, dan Pribumi.” Dalam bab ini, Djoko Soekiman meneliti perbedaan pola pemukiman antara tiga kelompok masyarakat di Hindia Belanda: Eropa, Indis, dan pribumi, serta bagaimana aspek budaya dan sosial memengaruhi tata ruang dan gaya arsitektur di setiap kelompok.
Bagi masyarakat Eropa, lingkungan pemukiman biasanya ditata dengan gaya kota-kota kolonial Eropa, yang teratur, bersih, dan memiliki fasilitas pendukung yang modern pada masanya. Kawasan tempat tinggal Eropa umumnya berada di lokasi strategis dan terpisah dari daerah yang ditempati oleh pribumi, menggambarkan adanya pemisahan status sosial. Bangunan di kawasan ini cenderung bergaya arsitektur Barat dengan taman luas, ventilasi besar, dan seringkali dilengkapi dengan fasilitas kesehatan serta sekolah khusus untuk kalangan Eropa.
Sementara itu, masyarakat Indis menempati kawasan yang sering kali menjadi zona peralihan antara pemukiman Eropa dan pribumi. Wilayah pemukiman Indis mencerminkan perpaduan arsitektur Eropa dan lokal, menyesuaikan diri dengan iklim tropis namun tetap mempertahankan kemewahan gaya Barat. Rumah-rumah Indis biasanya memiliki beranda luas, dengan material lokal seperti kayu dan rotan, yang lebih tahan terhadap kondisi cuaca setempat. Lokasi pemukiman ini sering kali menjadi tempat interaksi antara masyarakat Eropa dan pribumi, sehingga menjadi ruang sosial yang terbuka untuk pertemuan dan adaptasi budaya.
Di sisi lain, pemukiman masyarakat pribumi umumnya berada di pinggiran kota atau kawasan tertentu yang terpisah dari pemukiman Eropa dan Indis. Lingkungan ini cenderung lebih padat, dengan pola pemukiman yang didasarkan pada kekerabatan atau komunitas. Rumah-rumah pribumi biasanya sederhana dan fungsional, dibangun dengan bahan lokal seperti bambu dan atap dari rumbia. Tata ruang pemukiman pribumi mencerminkan pola kehidupan tradisional yang lebih komunal, berbeda dengan masyarakat Eropa yang lebih individualis.
Djoko Soekiman menunjukkan bahwa pemisahan lingkungan pemukiman antara ketiga kelompok ini tidak hanya didasarkan pada perbedaan fisik bangunan, tetapi juga merefleksikan struktur sosial dan hierarki kolonial yang mengakar dalam masyarakat Hindia Belanda. Bab ini mengungkapkan bahwa tata ruang dan arsitektur pemukiman menjadi salah satu cara untuk memperlihatkan status sosial, kekayaan, dan hubungan antarbudaya yang kompleks di era kolonial.
BAB V : RAGAM HIAS RUMAH TINGGAL
Bab V dari buku ini membahas “Ragam Hias Rumah Tinggal.” Dalam bab ini, Soekiman mengulas berbagai motif dekoratif dan elemen hiasan yang menghiasi rumah-rumah tinggal masyarakat Hindia Belanda, terutama yang menunjukkan perpaduan antara estetika Eropa dan lokal. Ragam hias ini tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai simbol status sosial serta representasi akulturasi budaya yang kaya.
Pada rumah tinggal masyarakat Eropa dan Indis, ragam hias yang dipilih sering kali menunjukkan pengaruh gaya Eropa klasik, dengan tambahan sentuhan khas lokal. Misalnya, di bagian depan rumah sering terlihat ornamen-ornamen seperti pilaster atau kolom dengan hiasan yang disesuaikan untuk iklim tropis, yang juga memberikan kesan megah dan elegan. Dalam rumah-rumah ini, penggunaan motif seperti bunga, dedaunan, dan burung tropis sering kali disematkan di perabotan atau dinding, menunjukkan keterbukaan masyarakat Indis terhadap unsur alam lokal yang khas Hindia Belanda.
Di ruang dalam, hiasan seperti ukiran kayu pada perabotan dan pintu menjadi ciri khas yang menonjol, terutama bagi masyarakat Indis. Ukiran ini menggabungkan gaya Barat dengan pola tradisional seperti flora dan fauna setempat, menciptakan tampilan yang unik. Bahan-bahan yang digunakan juga sering kali berupa kayu jati dan rotan yang kuat dan tahan lama, memberikan nuansa alami sekaligus berfungsi praktis untuk iklim tropis.
Rumah tinggal masyarakat pribumi cenderung lebih sederhana, namun tetap memiliki ragam hias yang khas. Hiasan ini biasanya hadir dalam bentuk motif geometris atau pola tradisional yang memiliki makna simbolis, seperti keberuntungan atau perlindungan. Pada beberapa rumah adat, ukiran atau anyaman pada dinding dan atap berfungsi bukan hanya sebagai hiasan, tetapi juga sebagai bagian dari ekspresi budaya dan nilai spiritual yang diyakini masyarakat setempat.
Djoko Soekiman menggarisbawahi bahwa ragam hias di rumah-rumah ini mencerminkan lebih dari sekadar estetika. Ia mencerminkan identitas sosial, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang dibawa masing-masing kelompok, serta menciptakan sebuah gaya arsitektur dan desain interior yang unik bagi masyarakat Hindia Belanda. Bab ini mengilustrasikan bagaimana perpaduan gaya Barat dan lokal membentuk tidak hanya gaya hidup, tetapi juga lingkungan fisik yang merepresentasikan kekayaan budaya Indis.
BAB VI : PENUTUP
Bab VI dari buku ini adalah bab “Penutup,” yang merangkum keseluruhan isi buku serta memberikan refleksi akhir tentang budaya Indis di Hindia Belanda. Djoko Soekiman menggarisbawahi bahwa budaya Indis adalah hasil akulturasi kompleks antara budaya Eropa, khususnya Belanda, dan budaya lokal Nusantara, yang berkembang melalui interaksi sosial, gaya hidup, dan cara pandang masyarakat pada masa kolonial.
Soekiman mencatat bahwa budaya Indis tidak hanya mencerminkan perpaduan budaya secara fisik, seperti dalam gaya arsitektur, tata busana, dan ragam hias, tetapi juga dalam cara hidup dan nilai-nilai sosial yang berkembang di antara kelompok masyarakat Eropa, Indis, dan pribumi. Budaya ini menciptakan identitas tersendiri yang unik, yang tidak sepenuhnya Eropa, namun juga tidak sepenuhnya pribumi. Identitas Indis ini melahirkan generasi dengan pandangan hidup yang fleksibel dan mampu beradaptasi di tengah perubahan sosial dan politik pada zaman kolonial.
Namun, Djoko Soekiman juga menunjukkan bahwa budaya Indis tidak bertahan lama setelah masa kolonial berakhir. Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 membawa perubahan besar, baik secara sosial maupun politik, yang menggeser posisi budaya Indis dan menggantikannya dengan identitas nasional yang baru. Meskipun demikian, jejak budaya Indis masih dapat dilihat hingga saat ini dalam beberapa aspek arsitektur, kuliner, dan gaya hidup di Indonesia, sebagai warisan dari sejarah panjang interaksi budaya yang pernah ada.
Dalam penutup ini, Soekiman mengajak pembaca untuk memahami pentingnya budaya Indis sebagai bagian dari sejarah budaya Indonesia, yang dapat memberikan wawasan tentang bagaimana interaksi budaya membentuk karakter masyarakat. Buku ini secara keseluruhan menggambarkan bagaimana akulturasi dan adaptasi budaya di Hindia Belanda melahirkan sebuah budaya hibrida yang memperkaya sejarah dan warisan budaya Indonesia hingga saat ini.
KESIMPULAN
Kesimpulan utama dari buku ini adalah bahwa kebudayaan Indis mencerminkan identitas ganda yang terbentuk dari asimilasi budaya Barat dan tradisi lokal. Ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan seperti bahasa, mode pakaian, kuliner, arsitektur, dan gaya hidup sehari-hari. Namun, budaya Indis bukan hanya sekadar hasil dari kolonisasi; ia juga menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat yang mengadopsinya.
Selama periode tersebut, kebudayaan Indis menghadapi berbagai tantangan, terutama ketika semangat nasionalisme Indonesia mulai bangkit menjelang revolusi. Budaya ini akhirnya memudar seiring dengan kemerdekaan Indonesia, karena masyarakat ingin melepaskan diri dari pengaruh kolonial dan menciptakan identitas nasional yang murni.
IDENTITAS BUKU
• Judul : Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi
• Pengarang : Djoko Soekiman
• Penerbit : Komunitas Bambu
• Tahun terbit : 2014
• Jumlah halaman : x+266 halaman